Sabtu, 18 Februari 2012

TENUN BADUY


Jika menelaah asal mula tradisi menenun di Baduy atau mencari akar sejarah kain tenun Baduy akan berhubungan dengan asal mula masyarakat Baduy itu sendiri. Dalam berbagai referensi sejarah Sunda dan perkembangannya tidak ditemukan satu pun bukti tertulis yang menggarisbawahi tentang sejarah kain tenun Baduy. Namun hal ini dapat ditelusuri melalui referensi folklor lisan, tulisan, dan wawancara dengan ahli Baduy tentang keberadaan masyarakat Baduy di wilayah Banten yang memiliki pandangan yang berbeda.

Berdasarkan wawancara dengan Anisjatisunda (Agustus, 2008), budayawan Sunda yang lama meneliti Baduy, bahwa kain tenun Baduy sudah ada sejak masyarakat itu menetap di balik Gunung Kendeng (wilayah Kanekes sekarang). Dipertegas pula oleh Blume (dalam Garna), bahwa keberadaan kain tenun di satu wilayah etnis sangat berkaitan dengan sejarah masyarakat itu sendiri.

Dalam kaitan ini, tentu artefak kain tentu untuk memenuhi kebutuhan sandangnya harus

berupaya dibuat sendiri dari potensi alam yang ada. Mereka tidak memanfaatkan tradisi Pajajaran lagi,
sebab justru ingin membuat karakter dan ciri yang berbeda, agar tidak disebut sebagai orang Pajajaran. Sumber daya alam Kapas merupakan salah satu bahan utama kain. Kapas ini diproses dengan pemintalan sederhana, kemudian ditenun dengan alat dari kayu dan bambu yang ada di sekitarnya. Pengetahuan tentang kapas sebagai bahan benang sudah dimilikinya, sebab jaman Pajajaran, mereka sebelumnya setiap tahun sudah biasa memberikan upeti 10 pikul kapas kepada kerajaan. Tradisi pembuatan kain dari bahan kapas ini sudah ada sejak Pajajaran. (Iskandar, 2005:236)

Warna putih dalam artefak kain tenun Baduy merupakan bahan dasar dan yang awal diciptakan masyarakat Baduy, yang pada awalnya hanya menetap di wilayah pedalaman Cibeo dan Cikeusik, kemudian Cikertawana (yang sekarang dinamakan Baduy Dalam). Warna putih yang digunakan pada bahan kain tenun Baduy tidak diwarnai atau tetap menggunakan warna asli kapas yang putih. Putih ini bermakna terang, bersih, atau sebagai Hyang yang tidak memiliki wujud (simbolisasi “gaib”). Atau hal ini berkaitan dengan makna kesucian, yang ada pada tingkat atas (Ambu Luhur). Setelah masyarakat ini berkembang, maka jumlah orang pun bertambah. Penambahan orang di Baduy Dalam ini kemudian ditempatkan di wilayah adat di sekitar tiga wilayah adat itu, yang sekarang dinamakan Baduy Luar. Wilayah Baduy Luar diberi identitas yang berbeda, yaitu berpakaian hitam. Warna hitam mengandung makna gelap atau malam. Yang gelap atau hitam dalam konteks budaya Baduy akan menjadi pelindung di balik yang terang. Hal ini ada kemungkinan dipengaruhi konsep penanggalan Pajajaran yaitu ti poek ka caang (Anis Jatisunda, 2008) atau dari gelap (malam) ke terang (siang). Jadi konsep putih dan hitam ini dipengaruhi konsep penanggalan Pajajaran. (SUMBER : http://magistre-sejarah.blogspot.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar