Jika menelaah asal mula tradisi menenun di Baduy atau mencari akar
sejarah kain tenun Baduy akan berhubungan dengan asal mula masyarakat
Baduy itu sendiri. Dalam berbagai referensi sejarah Sunda dan
perkembangannya tidak ditemukan satu pun bukti tertulis yang
menggarisbawahi tentang sejarah kain tenun Baduy. Namun hal ini dapat
ditelusuri melalui referensi folklor lisan, tulisan, dan wawancara
dengan ahli Baduy tentang keberadaan masyarakat Baduy di wilayah Banten
yang memiliki pandangan yang berbeda.
Berdasarkan wawancara dengan Anisjatisunda (Agustus, 2008), budayawan Sunda yang lama meneliti Baduy, bahwa kain tenun Baduy sudah ada sejak masyarakat itu menetap di balik Gunung Kendeng (wilayah Kanekes sekarang). Dipertegas pula oleh Blume (dalam Garna), bahwa keberadaan kain tenun di satu wilayah etnis sangat berkaitan dengan sejarah masyarakat itu sendiri.
Dalam kaitan ini, tentu artefak kain tentu untuk memenuhi kebutuhan sandangnya harus
berupaya dibuat sendiri dari potensi alam yang ada. Mereka tidak memanfaatkan tradisi Pajajaran lagi,
Berdasarkan wawancara dengan Anisjatisunda (Agustus, 2008), budayawan Sunda yang lama meneliti Baduy, bahwa kain tenun Baduy sudah ada sejak masyarakat itu menetap di balik Gunung Kendeng (wilayah Kanekes sekarang). Dipertegas pula oleh Blume (dalam Garna), bahwa keberadaan kain tenun di satu wilayah etnis sangat berkaitan dengan sejarah masyarakat itu sendiri.
Dalam kaitan ini, tentu artefak kain tentu untuk memenuhi kebutuhan sandangnya harus
berupaya dibuat sendiri dari potensi alam yang ada. Mereka tidak memanfaatkan tradisi Pajajaran lagi,
sebab justru ingin membuat karakter
dan ciri yang berbeda, agar tidak disebut sebagai orang Pajajaran.
Sumber daya alam Kapas merupakan salah satu bahan utama kain. Kapas ini
diproses dengan pemintalan sederhana, kemudian ditenun dengan alat dari
kayu dan bambu yang ada di sekitarnya. Pengetahuan tentang kapas sebagai
bahan benang sudah dimilikinya, sebab jaman Pajajaran, mereka
sebelumnya setiap tahun sudah biasa memberikan upeti 10 pikul kapas
kepada kerajaan. Tradisi pembuatan kain dari bahan kapas ini sudah ada
sejak Pajajaran. (Iskandar, 2005:236)
Warna putih dalam artefak
kain tenun Baduy merupakan bahan dasar dan yang awal diciptakan
masyarakat Baduy, yang pada awalnya hanya menetap di wilayah pedalaman
Cibeo dan Cikeusik, kemudian Cikertawana (yang sekarang dinamakan Baduy
Dalam). Warna putih yang digunakan pada bahan kain tenun Baduy tidak
diwarnai atau tetap menggunakan warna asli kapas yang putih. Putih ini
bermakna terang, bersih, atau sebagai Hyang yang tidak memiliki wujud
(simbolisasi “gaib”). Atau hal ini berkaitan dengan makna kesucian, yang
ada pada tingkat atas (Ambu Luhur). Setelah masyarakat ini berkembang,
maka jumlah orang pun bertambah. Penambahan orang di Baduy Dalam ini
kemudian ditempatkan di wilayah adat di sekitar tiga wilayah adat itu,
yang sekarang dinamakan Baduy Luar. Wilayah Baduy Luar diberi identitas
yang berbeda, yaitu berpakaian hitam. Warna hitam mengandung makna gelap
atau malam. Yang gelap atau hitam dalam konteks budaya Baduy akan
menjadi pelindung di balik yang terang. Hal ini ada kemungkinan
dipengaruhi konsep penanggalan Pajajaran yaitu ti poek ka caang (Anis
Jatisunda, 2008) atau dari gelap (malam) ke terang (siang). Jadi konsep
putih dan hitam ini dipengaruhi konsep penanggalan Pajajaran. (SUMBER : http://magistre-sejarah.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar